UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh
karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b. bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin
pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan,
kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun
masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi
Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
c. bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh
Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang,
dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
tersebut perlu dicabut;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3327 );
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3886);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak
asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
3. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan
HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
4. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik
sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara
individual.
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti
dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
BAB II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
PENGADILAN HAM
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
(1) Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah
kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri
yang bersangkutan.
(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM
berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
BAB III
LINGKUP KEWENANGAN
Pasal 4
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pasal 5
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar
batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga
negara Indonesia.
Pasal 6
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat
kejahatan dilakukan.
Pasal 7
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum
acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
Bagian Kedua
Penangkapan
Pasal 11
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan
untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.
(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dipersangkakan.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.
(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.
(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk
paling lama 1 (satu) hari.
(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Bagian Ketiga
Penahanan
Pasal 12
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan.
(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal
terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang
bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
Pasal 13
(1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling
lama 90 (sembilan puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat
diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan
HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 14
(1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat
diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan
HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 15
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan
HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 16
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan
Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 17
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah
Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh
Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Penyelidikan
Pasal 18
(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang
terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur
masyarakat.
Pasal 19
(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, penyelidik berwenang:
a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang
timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya
patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang
tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta
mencari keterangan dan barang bukti;
c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk
diminta dan didengar keterangannya;
d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat
lainnya yang dianggap perlu;
f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara
tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan
aslinya;
g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) pemeriksaan surat;
2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan
tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
(2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu
peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.
Pasal 20
(1) Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa
terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil
penyelidikan disampaikan kepada penyidik.
(2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil
penyelidikan disampaikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.
(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik
segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik
disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib
melengkapi kekurangan tersebut.
Bagian Kelima
Penyidikan
Pasal 21
(1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk
kewenangan menerima laporan atau pengaduan.
(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas
unsur pemerintah dan atau masyarakat.
(4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan
sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
(5) Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi
syarat :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian di bidang hukum;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 22
(1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3)
wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap
oleh penyidik.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat
diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan
HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti
yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan oleh Jaksa Agung.
(5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan,
penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila
terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan
untuk dilakukan penuntutan.
(6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka
korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan
praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Keenam
Penuntutan
Pasal 23
(1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas
unsur pemerintah dan atau masyarakat.
(3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan
sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus
memenuhi syarat :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut
umum;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 24
Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat
(2) wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari
terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Pasal 25
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta
keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan
penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat.
Bagian Ketujuh
Sumpah
Pasal 26
Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi
sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak
membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi
dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Umum
Pasal 27
(1) Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua)
orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga)
orang hakim ad hoc.
(3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh
hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
(3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Paragraf 2
Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:
1. warga negara Republik Indonesia;
2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
4. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian di bidang hukum;
5. sehat jasmani dan rohani;
6. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
8. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 30
Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai
dengan agamanya masing-masing yang lafalnya berbunyi sebagai
berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak
mem-beda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi
dalam
melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Paragraf 3
Acara Pemeriksaan
Pasal 31
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 (seratus
delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM.
Pasal 32
(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut
diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri
atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3
(tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad
hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 33
(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan
diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri
atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang.
(4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
(5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk
satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun.
(6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung
harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian di bidang hukum;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
BAB V
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI
Pasal 34
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara
cuma-cuma.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan
saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 35
(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau
ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 37
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 38
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 39
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 40
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 41
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9
dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal
40.
Pasal 42
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak
sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap
tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang
dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan
akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut,
yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas
dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan
tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan
yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk
mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan
pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung
jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan
dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak
melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar,
yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi
yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau
baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
BAB VIII
PENGADILAN HAM AD HOC
Pasal 43
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 44
Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku
Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di
Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.
(2) Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada pada Pengadilan Negeri di:
a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah;
b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur;
c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara,
dan Irian Jaya;
d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh,
Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai
kadaluarsa.
Pasal 47
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.
Pasal 48
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 49
Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan
Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan
Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini.
Pasal 50
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208
------------------------------------------------------
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
I. UMUM
Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR-RI
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan
dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan
asas-asas hukum internasional.
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh
aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada
seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan
melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan
Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan
Undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping
hal tersebut, pembentukan Undang-
undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi
mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi
dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat
dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi
manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik
Indonesia.
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari
kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka
untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu
dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan
khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Untuk
merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut,
perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dasar pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104
ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan
dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun
masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum,
keadilan, dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun
masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan "extra ordinary
crimes" dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional
maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan
kerugian baik materiil maupun
immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan
dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
ketertiban, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat Indonesia;
2. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
3. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat adalah :
a. diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad
hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc;
b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak
berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan;
d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi;
e. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum
internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal
mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis". Dengan ungkapan lain asas
retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi
manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-undang ini mengatur
pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa
tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan
Peradilan Umum.
Di samping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-undang ini
menyebutkan juga keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000
tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan undang-undang
dimaksudkan sebagai lembaga ekstra-yudicial yang ditetapkan dengan
undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan
mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi
manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi
dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus" dalam ketentuan ini
adalah termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara
Indonesia yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum
sesuai dengan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
ini.
Pasal 6
Seseorang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun yang melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 7
"Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan" dalam
ketentuan ini sesuai dengan "Rome Statute of The International
Criminal Court" (Pasal 6 dan Pasal 7).
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan "anggota kelompok" adalah seorang atau lebih
anggota kelompok.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 9
Yang dimaksud dengan "serangan yang ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil" adalah suatu rangkaian perbuatan yang
dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan
penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pembunuhan" adalah sebagaimana tercantum
dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pemusnahan" meliputi perbuatan yang
menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain
berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan
obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian
penduduk.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbudakan" dalam ketentuan ini termasuk
perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa" adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara
pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana
mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang
diijinkan oleh hukum internasional.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan "penyiksaan" dalam ketentuan ini adalah dengan
sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan
yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau
seseorang yang berada di bawah pengawasan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan "penghilangan orang secara paksa" yakni
penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan
kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan
organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan
kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib
atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari
perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "kejahatan apartheid" adalah perbuatan tidak
manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan
dalam Pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan
berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas
suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan
maksud untuk mempertahankan rezim itu.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah dalam waktu 24 (dua
puluh empat) jam terhitung sejak tersangka ditangkap.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil
penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
adalah lembaga yang bersifat independen.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "unsur masyarakat" adalah tokoh dan anggota
masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan
menghayati di bidang hak asasi manusia.
Pasal 19
Pelaksanaan "penyelidikan" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai
rangkaian tindakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam lingkup
projustisia.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menerima" adalah menerima, mendaftar, dan
mencatat laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dan dapat dilengkapi
dengan barang bukti.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan "perintah penyidik" adalah perintah tertulis
yang dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik dan penyidik
segera mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan dari
penyelidik.
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
"Penggeledahan" dalam ketentuan ini meliputi penggeledahan badan
dan atau rumah.
Angka 3)
Cukup jelas
Angka 4)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
* Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang
cukup" adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana
bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
* Dalam penyelidikan tetap dihormati asas praduga tak bersalah
sehingga hasil penyelidikan bersifat tertutup (tidak
disebarluaskan) sepanjang menyangkut nama-nama yang diduga
melanggar hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan
Pasal 92 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
* Yang dimaksud dengan "menindaklanjuti" adalah dilakukannya
penyidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kurang lengkap" adalah
belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat
untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud "unsur masyarakat" adalah terdiri
dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan
tinggi.
Kata "dapat" dalam ketentuan ini dimaksudkan agar Jaksa Agung dalam
mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penuntut umum ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan diambil dari
mantan penuntut umum di Peradilan Umum atau oditur di Peradilan
Militer.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu
sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama
Islam "Demi Allah" sebelum lafal sumpah dan untuk agama
Kristen/Katolik kata-kata "Kiranya Tuhan akan menolong saya"
sesudah lafal sumpah.
Pasal 27
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 4
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar majelis hakim selalu
berjumlah ganjil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
"Hakim ad hoc" adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier
yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan
berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara
kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati
hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Yang dimaksud dengan "keahlian di bidang hukum" adalah antara lain
sarjana syariah atau sarjana lulusan Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal 30
Lihat penjelasan Pasal 26.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Lihat penjelasan Pasal 29 Angka 4.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
* Yang dimaksud dengan "kompensasi" adalah ganti kerugian yang
diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
* Yang dimaksud dengan "restitusi" adalah ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga. Restitusi dapat berupa :
a. pengembalian harta milik;
b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;
atau
c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
* Yang dimaksud dengan "rehabilitasi" adalah pemulihan pada
kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau
hak-hak lain.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Yang dimaksud dengan "permufakatan jahat" adalah apabila 2 (dua)
orang atau lebih sepakat akan melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan
dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos
delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang
ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan alternatif
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dilakukan di
luar Pengadilan HAM.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Dalam ketentuan ini dimaksudkan hanya berlaku untuk pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan yurisdiksinya berlaku bagi siapa saja
baik sipil maupun militer.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4026